Rabu, 18 November 2020

PERMASALAHAN KAWASAN TEPIAN AIR DAS BENGAWAN SOLO DI WONOGIRI

  PERMASALAHAN EKOLOGI/LINGKUNGAN KAWASAN TEPIAN AIR           

               

             Setelah membahas mengenai latar belakang permasalahan kawasan tepian air (DAS), maka kita akan coba mengidentifikasi permasalahan dari segi ekologi/lingkungan, sosial ekonomi dan kelembagaan. 

Ada beberapa permasalahan lingkungan, yaitu sebagai berikut :  

 

A. Alih fungsi Lahan pada Sempadan Sungai (kegiatan budidaya) 

            

            Berdasarkan prinsip-prinsip kebijakan Kawasan lindung sempadan sungai dan waduk (Keppres No. 32 Tahun 32 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung) kawasan sempadan harus aman dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air, kondisi fisik tepiannya guna mengamankan aliran sungai serta menjaga kelestarian fungsi waduk. 

          Dari pengamatan yang dilakukan, sempadan sungai dan waduk di Wonogiri banyak dimanfaatkan untuk lahan budidaya seperti pertanian yang kurang memperhatikan keberlangsungan sungai. Belum ada data pasti mengenai berapa luasan lahan yang seharusnya berupa greenbelt namun beralih fungsi menjadi lahan pasang surut, namun hal ini bisa dilihat secara kasat mata di Wonogiri. Hal ini mengindikasikan bahwa kesadaran dan kemampuan para pihak dalam melestarikan ekosistem sungai masih rendah, misalya masih banyak lahan yang seharusnya berupa kawasan lindung atau resapan air masih digunakan untuk fungsi budidaya yang diolah secara intensif sehingga  meningkatkan  resiko  erosi,  longsor  dan  banjir. Dalam aliran sungai sendiri sering dijumpai sampah dan limbah dari berbagai sumber yang menyebabkan pendangkalan,penyumbatan, dan pencemaran air sungai sehingga kualitas air dan palung sungai menjadi rusak yang pada akhirnya merugikan lingkungan dan kehidupan masyarakat. 

            Kemampuan dan partisipasi para pihak dalam pengelolaan DAS menjadi tantangan bagi para pengelola DAS dan unsur lain yang terkait dengan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat secara luas DAS (Departemen Kehutanan, 2008).

 

 Gambar oleh Lubos Houska dari Pixabay
 

 B. Erosi dan sedimentasi di Waduk dan Sungai yang melintas Kota

            Erosi di sungai kecil merupakan salah satu faktor penumpukan lumpur di aliran Sungai Bengawan Solo di wilayah Kabupaten Wonogiri (Sumber: Harian Solopos, 2012). Pada sepanjang hulu dan sempadan Bengawan Solo terjadi erosi. Hal ini di sebabkan karena pada sungai bengawan solo marak berbagai penambangan pasir, terutama yang diusahakan secara besar-besaran dengan mesin penyedot. Lubang-lubang besar di dalam sungai menyebabkan ketidakstabilan tebing yang menimbulkan longsor (Sumber: Harian Republika, Sabtu 14 Maret 2009). 

            Menurut Yudhi Pranoto (Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo, 2013), tingginya sedimentasi berdampak pada semakin berkurangnya daya tampung air waduk Wonogiri. Sebagai perbandingan daya tampung air efektif pada tahun 1980  mencapai 440 juta mater kubik , tahun 2005 sebanyak 375 meter kubik, dan tahun 2011 hanya 305,5 juta meter kubik. Sementara itu,  tampungan air banjir, tahun 1980  sebesar 220 juta meter kubik, namun, pada 2005, tampungan banjir turun menjadi 218 juta meter kubik, dan tahun 2011 turun lagi menjadi 153,9 juta meter kubik. Untuk mengatasi sedimentasi, selain upaya struktural dengan membangun Spillway dan Dam Ceck (tahun 2015 ini telah selesai dan telah dioperasikan) penanganan non-struktural berbasis pemberdayaan masyarakat dilakukan terutama di daerah tangkapan air, antara lain dengan reboisasi, terasering, dan menjaga kelestarian  sumber-sumber air.

Kondisi waduk gajah mungkur dapat dilihat dari menara pandang seperti dalam video berikut ini 


 

C. Berkurangnya daerah resapan air (banjir dan kekeringan)

             Dari peristiwa terjadinya banjir besar sepanjang Bengawan Solo pada tahun 2008, jebolnya Waduk Gajah Mungkur, dapat dilihat adanya faktor penyebab, yaitu :

  1. Faktor iklim ekstrim (hujan ekstrim)

    Dari faktor hujan ekstrim pada musim penghujan, waduk Wonogiri berlimpah air sehingga apabila bendungan dibuka, seringkali akan dituding sebagai penyebab banjir di bagian hilir Bengawan Solo. Sedangkan di musim kemarau, waduk mengering hingga menampakkan dasar waduk dan mengakibatkan tergangguya kinerja PLTA, sawah mengering, penurunan muka air tanah sehingga sumur-sumur harus diperdalam

  2. Faktor penurunan daya dukung DAS

    Perubahan tata guna lahan dari daerah tangkapan hujan (vegetasi) menjadi lahan terbuka sehingga air hujan menjadi aliran permukaan yang langsung mengalir ke sungai dengan peresapan ke tanah yang rendah atau minim.

  3. Kesalahan konsep drainase

    Konsep air hujan dialirkan secepat-cepatnya ke sungai bahkan ke hilir dengan melakukan penanggulan serta pelurusan sungai, padahal resapan ke tanah diperlukan sebagai cadangan air di musim kemarau.

Masalah banjir dan kekeringan merupakan permasalahan yang berakar dari berkurangnya daerah resapan air. Air hujan tidak meresap ke tanah namun menjadi aiir permukaan yang langsung disalurkan ke sungai untuk secepat-cepatnya dikirim ke wilayah hilir. 

Rusaknya greenbelt juga turut memicu  peristiwa banjir dan kekeringan, karena sempadan juga merupakan area resapan air. Tindakan pengembalian fungsi tepian sungai sebagai penyangga sungai dengan melakukan penghijauan kembali kawasan tepi sungai, perluasan sempadan sungai, merupakan cara alami yang dapat  ditempuh untuk menjaga kuantitas dan kualitas air serta mencegah kekeringan sungai di musim kemarau.

Selasa, 17 November 2020

PERMASALAHAN KAWASAN TEPIAN AIR SUNGAI (DAS)

            Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas mengenai latar belakang permasalahan kawasan tepian air sungai (DAS).

Kondisi banjir akibat sedimentasi di DAS bengawan Solo 
di bawah jembatan pokoh, Wonogiri 


            Pada dasarnya semua kota yang bagian tepinya berbatasan langsung dengan perairan seperti; sungai, danau dan laut memiliki potensi menjadi waterfront city (Hardiman, 2008). Sebuah konsep kota yang mengedepankan wilayah perairan sebagai latar depan wilayahnya. Sungai, waduk, danau, pantai sebagai potensi dalam pengembangan dan penataan kota. Namun kenyataan di Indonesia, banyak kota-kota yang tidak memaksimalkan potensi tersebut. Penataan kota cenderung ke arah luar, berorientasi pada jalan dan membelakangi sungai, menganggap sungai sebagai halaman belakang. Kondisi tersebut mengakibatkan sungai menjadi terabaikan, kumuh, dan tidak memiliki nilai ekonomis.

Kawasan Tepian Air merupakan isu krusial dalam penataan lingkungan tepian sungai di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Berbagai masalah lingkungan muncul di kawasan tersebut bersumber dari masalah kecil yang terabaikan dan akhirnya menumpuk menjadi penyakit kronis yang tak kunjung terobati. Di wilayah hulu, pegunungan, berbagai masalah pun muncul akibat tata kelola yang salah sehingga berdampak luas hingga ke bagian hilir. Pengelolaan DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS.

Bagian sungai yang berperan penting menjaga sungai dari degradasi adalah area sabuk hijau (greenbelt) yang berada di tepian sungai/sempadan sungai. Dalam Permen No. 15 Tahun 2009, wilayah yang mempunyai fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup termasuk dalam kawasan lindung. Dalam hal ini, kawasan tepi air seperti sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk termasuk dalam kawasan perlindungan setempat dan bagian dari kawasan lindung. Sempadan sungai atau kawasan tepian sungai mempunyai peranan sebagai penyangga sungai. Karakteristik dari sempadan sungai adalah vegetasi tutupan lahan berupa tanaman keras sebagai penyangga sungai. Secara ekologis (Maryono, 2005) sempadan sungai merupakan 'habitat dimana komponen ekosistem sungai berkembang'.Komponen vegetasi sungai secara alami akan mendapatkan hara dari sedimentasi periodis dari hulu dan tebing, selanjutnya komponen vegetasi ini akan berfungsi sebagai pemasok nutrisi untuk komponen fauna sungai dan sebaliknya. Proses ini merupakan pendukung keberlangsungan ekosistem sungai yang memiliki sifat terbuka hulu - hilir. Memelihara ekosistem sempadan sungai yang baik sudah dapat dipastikan, sistem konservasi air dan tanah di sepanjang sungai dapat terjaga.

Menurut Penjelasan atas Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, kecenderungan lahan di sekitar sungai yang dimanfaatkan untuk kegiatan manusia, telah mengakibatkan penurunan fungsi, yang ditandai dengan adanya penyempitan, pendangkalan, dan pencemaran sungai. Untuk kepentingan masa depan kecenderungan tersebut perlu dikendalikan agar dapat dicapai keadaan yang harmonis dan berkelanjutan antara fungsi sungai dan kehidupan manusia. Pengembangan kawasan tepian air dilakukan dengan tidak merusak ekosistem, mempertimbangkan karakteristik sungai, kelestarian keanekaragaman hayati, serta kekhasan dan aspirasi daerah/masyarakat setempat untuk terciptanya keberlanjutan lingkungan tepi air dari segi ekologi, sosial dan ekonomi agar menjadi lebih baik di masa yang akan datang.


Daftar Pustaka.

Hardiman, Gagoek. 2008. Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan dalam Mewujudkan Kota Tropis, Gedung Prof Soedarto, SH Kampus UNDIP Tembalang Semarang.

Maryono, Agus. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers, 2005.

PENGEMBALIAN FUNGSI TROTOAR SEBAGAI JALUR KHUSUS PEJALAN KAKI

Gambar oleh SnapwireSnaps dari Pixabay A. PENDAHULUAN          Trotoar adalah bagian dari ruang terbuka publik yang berfungsi sebagai  jalu...