Setelah sebelumnya kita membahas mengenai permasalahan kawasan tepian air DAS Bengawan Solo dari sisi lingkungan atau ekologi, maka pada tulisan kali ini kita akan membahas dari sisi sosial ekonomi dan kelembagaan.
Permasalahan Sosial Ekonomi
1. Pengelolaan kawasan tepian sungai oleh masyarakat sebagai lahan budidaya
Faktor kondisi sosial ekonomi masyarakat yaitu kependudukan, kepemilikan lahan dan mata pencaharian. Wilayah Perkotaan Wonogiri masih didominasi lahan pertanian yang berada di sekitar DAS Bengawan Solo. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi ekologi kawasan sempadan sungai, mengakibatkan area terlarang bantaran sungai dimanfaatkan sebagai lahan pasang surut untuk bertanam padi dan palawija. Hal ini merupakan masalah tersendiri, akibat tuntutan kebutuhan ekonomi sehingga memanfaatkan lahan yang ada untuk mendapatkan penghasilan. Sehingga perlu adanya sosialisasi/pemahaman masyarakat tentang sungai dan bahayanya aktivitas ilegal yang dilakukan. Pengelolaan DAS yang terpadu sesungguhnya melibatkan semua stakeholders termasuk masyarakat sebagai pelaku. Sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat untuk melakukan tindakan konservasi tanah diperlukan agar pengelolaan DAS berkelanjutan dapat terlaksana.
Menurut Fahmudin Agus dan Widianto (2004) konservasi tanah harus disesuaikan dengan keadaan sosial ekonomi setempat (misalnya status kepemilikan tanah, tenaga kerja, penghasilan rumah tangga). Tindakan konservasi tanah mudah diterima petani adalah tindakan yang memberi keuntungan jangka pendek dalam bentuk peningkatan hasil panen dan peningkatan pendapatan, terutama untuk petani yang penguasahaan lahannya tidak tetap. Kegiatan konservasi yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani dengan fasilitasi penyuluhan. Petani paling berhak mengambil keputusan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada lahan mereka.
Daerah hulu merupakan faktor produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemukiman dan lain-lain. Kemampuan pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada daerah hilir. Konservasi daerah hulu perlu mencakup seluruh aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Kepentingan masyarakat juga harus dimasukkan sebagai faktor kunci dalam kebijakan pengelolaan lahan hulu.
2. Pengelolaan kawasan tepian sungai oleh masyarakat sebagai lahan budidaya
Eksisting kawasan tepian air di Wonogiri bukan semuanya didominasi oleh sempadan sungai dan waduk yang tidak terbangun. Terdapat sisi yang potensial digunakan sebagi ruang terbuka publik perkotaan, seperti kawasan monumen “Bedhol Desa” yang belum dilengkapi sarana prasarana yang memadahi.
Dari hasil observasi di kawasan tepian air Wonogiri, ditemukan fenomena meningkatnya minat masyarakat ke kawasan tepi air Waduk Gajah Mungkur berada di Pokoh Kidul, biasa disebut plaza oleh masyarakat Wonogiri. Di tempat ini terdapat monumen sejarah “Bedhol Desa” sebagai lambang keharusan penduduk Wonogiri bertransmigrasi ke Sumatra demi terlaksanya pembangunan Waduk Gajah Mungkur. Meskipun belum ada sarana prasarana yang memadahi sebagai tempat wisata, namun tempat ini menarik minat banyak masyarakat untuk sekedar menikmati pemandangan waduk, memancing, berjalan-jalan atau relaksasi.
Menurut Maryono (2005) pariwisata sungai sangat bertolak belakang dengan aktivitas pembuatan talud. Pariwisata sungai menuntut kondisi sungai yang bersih dengan ekosistem sungai yang sehat, vegetasi hijau pinggir sungai, kelak kelok sungai yang menggambarkan kondisi natural sungai yang segar. Pentaludan akan mengakibatkan vegetasi bantaran hancur, debit banjir meningkat pada musim hujan dan musim kemarau menurun drastis, sungai menjadi panas dan gersang.
Proyek normalisasi sungai dengan pentaludan yang sering dilakukan di Indonesia, padahal di negara maju mulai ditinggalkan. Proyek berdana besar untuk membuat sungai yang telah diluruskan menjadi sungai yang berkelok-kelok lagi, sebagai contoh renaturalisasi sungai Enz di Jerman pada tahun 1990-1995 (LFU, 1996). Sedangkan pada tahun yang sama , sungai Bengawan Solo diadakan pelurusan dan sudetan dari Sukoharjo hingga Karanganyar sepanjang 20 km. Dari pernyataan tersebut, ditarik kesimpulan bahwa pariwisata sungai tidak identik dengan pembangunan fisik, namun dapat dengan pembangunan lingkungan, mengedepankan karakteristik setempat dan kelestarian sungai serta tema yang ditawarkan.
Permasalahan Kelembagaan
Berdasarkan Kepres No. 12 Tahun 2012 Tentang Penetapan Wilayah Sungai oleh Direktur Bina Penatagunaan Sumber Daya Air (PSDA), pengelolaan SDA yang terletak pada WS Lintas Negara, Lintas Provinsi dan Strategis Nasional merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Sedangkan WS Lintas Kabupaten/Kota merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan WS Dalam Kabupaten/Kota merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dari hasil penelitian LIPI (2011) permasalahan DAS Bengawan Solo hulu antara lain belum maksimalnya koordinasi lembaga pengelola DAS Bengawan Solo hulu, kemiskinan di daerah hulu, peningkatan intensitas dan luas banjir, penurunan kualitas air permukaan, masalah perencanaan DAS.
Proses degradasi yang terjadi pada DAS berdasarkan dari banyak penelitian yang dilakukan sebenarnya sudah mendapatkan perhatian dari pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Terbukti dengan banyaknya peraturan yang dikeluarkan untuk mencoba menangani masalah. Namun karena belum adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan, degradasi terus berlanjut. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi. Keterlibatan secara aktif para pihak (stakeholders) akan membangun rasa memiliki, memanfaatkan secara arif, dan memelihara sumberdaya secara bersama-sama.
Daftar Pustaka
Maryono, Agus. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers, 2005