Selasa, 05 Januari 2021

KORIDOR JALAN SEBAGAI ELEMEN PEMBENTUK CITRA KOTA

            Setelah postingan sebelumnya, saya membahas sedikit tentang koridor jalan, maka hari ini saya masih akan menulis tentang hal yang sama dengan penekanan koridor jalan sebagai elemen pembentuk citra kota.

       

Gambar oleh Pexels dari Pixabay

        Koridor jalan mempunyai peran penting dalam aspek kehidupan perkotaan, baik ekonomi, sosial maupun lingkungan. Jalan lebih dari sekedar utilitas dan ruang untuk pergerakan manusia dan barang, tetapi memunculkan adanya interaksi. Idealnya dalam koridor jalan terdapat beragam aktivitas, interaksi sosial yang menjadi penanda hidupnya kota, namun tetap berkualitas, livable dan manusiawi. Dalam buku Livable Street (Appleyard,1981) mengungkapkan, livable Street adalah jalan yang aman; berada di lingkungan yang sehat, menyenangkan sebagai ruang interaksi sosial; tempat anak-anak bermain dan belajar serta memiliki karakter unik sebagai identitas. 

          Secara teknis, elemen jalan adalah prasarana transportasi, ruang sirkulasi pengguna jalan baik yang berkendara maupun pejalan kaki yang oleh Lynch (1960) disebut sebagai jalur (path), salah satu elemen pembentuk citra kota. Jalan sebagai ruang publik menawarkan lebih banyak kesempatan untuk interaksi antar masyarakat dan lingkungan dengan keberadaan toko, kafe dan pepohonan yang memberi keteduhan dan kesegaran. Jalan adalah ruang terbuka publik yang benar-benar representatifyang mana seluruh penduduk dapat merasa nyaman dalam menggunakan

          Untuk memperoleh citra/kesan baik pada semua orang, maka dewasa ini kota-kota terus berkembang dan bersaing intens untuk memproyeksikan citra yang menarik melalui tampilan fisik pada ruang publiknya. Citra positif terhadap kota berperan penting untuk keberlanjutan kehidupan kota menjadi lebih baik dan maju. Dengan citra positif, diharapkan dapat menarik orang datang, meningkatkan investasi dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Begitu besarnya peran jalan dalam roda perekonomian, banyak pula kota tidak mampu menyeimbangkan dengan peran-peran yang lain sehingg muncul ketimpangan. Peran sosial dan lingkungan menjadi terabaikan, jalan berperan secara teknis saja, hambar, tidak manusiawi dan tidak livable. Desain ruang jalan seringkali memanjakan pengguna kendaraan sedangkan ruang pejalan kaki terabaikan, terkesan hanya sebagai ruang sisa yang sepi peminat. Hal ini juga kurang mendorong orang untuk hidup sehat  dan ramah lingkungan tanpa kendaraan bermotor dengan berjalan kaki menghidupkan ruang-ruang pedestrian.  

        Menurut Dharmawan (2007), peningkatan kualitas ruang publik tidak cukup hanya dengan merenovasi jalan, menambah tanaman maupun pohon, akan tetapi ada beberapa faktor lain, diantaranya faktor kenyamanan, faktor pencapaian dan vitalitas atau kegiatan yang menghidupkan kawasan. Dengan demikian ruang publik yang berkualitas adalah ruang yang hidup dengan aktivitas yang menarik, nyaman dan pencapaian yang mudah serta adanya partisipasi masyarakatnya.

         Permasalahan koridor jalan yang seringkali muncul pada kota-kota di Indonesia adalah  degradasi/penurunan fungsi, terganggunya area sirkulasi dengan kemacetan, koridor pejalan kaki terganggu karena fungsinya diserobot pedagang kaki lima, street furniture yang tidak pada tempatnya. Dampak dari penurunan fungsi ini adalah kenyamanan pengguna yang terganggu, baik pejalan kaki maupun pengguna jalan raya, sedangkan bagi kota adalah menurunnya citra kota karena tampilan fisik yang kurang menarik dan tidak teratur. Namun juga suatu masalah apabila dalam koridor jalan terdapat koridor trotoar untuk pejalan kaki dan terdapat fasilitas taman tidak maksimal pemanfaatannya, sepi peminat sehingga menjadi ruang mati dan akhirnya tidak terawat.  Permasalahan ini mengindikasikan gagalnya koridor jalan dalam menjalankan fungsinya sebagai sebagai ruang publik. Koridor jalan seharusnya mampu menjadi cermin hidupnya sebuah kota namun tetap dalam suasana tertata dan teratur. Berbagai aktivitas di dalam koridor jalan mampu mengangkat citra kota namun juga mampu memperburuk wajah kota. Dibutuhkan kesiapan seluruh stakeholder bersama-sama membangun koridor jalan sebagai ruang publik yang hidup (livable), nyaman dan menarik untuk dimanfaatkan.


Daftar Pustaka :

Appleyard, D. , 1981, Livable streets. Berkeley: University of California Press.

Darmawan, Edy., 2007, Peranan Ruang Publik dalam Perancangan Kota, Undip Semarang.

Lynch, K., 1960. The Image of the City, Cambridge: MIT Press.


Senin, 04 Januari 2021

KORIDOR JALAN SEBAGAI MEDIA PROMOSI KOTA

          


            Koridor jalan (streetscape) merupakan ruang terbuka publik tempat bagi semua orang dapat melihat, melewati dan memanfaatkannya sehari-hari. Beragam aktivitas dapat dilakukan di koridor tersebut antara lain berjalan kaki, berkendara, bersepeda, serta aktivitas ruang luar lainnya. Jalan, median jalan, trotoar, halte dan segala perlengkapan jalan (street furniture) merupakan elemen –elemen lansekap koridor jalan yang secara visual dapat berfungsi menggambarkan identitas dan karakter suatu kota. Dengan melihat kondisi eksistingnya juga akan dapat menggambarkan perilaku penghuni kota memperlakukan fasilitas publik tersebut. Sebuah image akan terbentuk dengan sendirinya mengenai sebuah kota dengan melihat tampilan visualnya yang tersaji di koridor jalan. Dengan demikian, koridor jalan (streetscape) menjadi sangat penting dalam membentuk citra kota.

            Beragamnya elemen-elemen lansekap dengan fungsinya masing-masing dan segala aktivitasnya yang terwadahi dalam koridor jalan, maka menunjukkan banyaknya potensi yang dapat digali dari suatu koridor jalan (streetscape)kota. Lanscape koridor jalan dapat dijadikan media untuk mempromosikan kota di masyarakat yang lebih luas. Namun permasalahan seringkali muncul di tempat tersebut karena kurangnya kesadaran dalam menjaga dan mengelola ruang publik. Ruang publik untuk kepentingan umum menjadi wadah berbagai kepentingan individu. Beberapa permasalahan yang dapat teridentifikasi secara kasat mata adalah terganggunya fungsi dari elemen-elemen lansekap seperti penggunaan trotoar oleh pedagang kaki lima, kurangnya vegetasi peneduh jalan, tidak efektifnya keberadaan halte, penempatan street furniture (pot, lampu jalan, tong sampah) yang mengganggu sirkulasi pejalan kaki, perilaku vandalism yang merusak atribut kota. Perlu adanya strategi dalam perencanaan dan perancangan dalam menemukan solusi permasalahan tersebut.

            Kebutuhan promosi kota melatar belakangi berbagai kota untuk mempercantik koridor jalannya sehingga dapat diingat oleh orang-orang yang melewatinya dan memberikan kesan tersendiri yang mudah untuk diingat akan kota tersebut. Suksesnya sebuah promosi tentu akan mendatangkan keuntungan di belakangnya, demikian halnya dengan kota yang diharapkan akan lebih banyak mendatangnya keuntungan secara ekonomi dan social. Salah satu ruang promosi yang dapat digunakan adalah dengan memanfaatkan koridor jalan utama dimana masyarakat Wonogiri serta masyarakat pengguna lainnya melakukan aktivitas ruang luar. Untuk tujuan tersebut, tentunya pengguna jalan, khususnya yang berasal dari luar kota perlu disuguhi visualisasi yang menarik dan kekhasan sebuah kota yang memberi pengalaman visual berbeda dengan wilayah atau kota lainnya.

Kamis, 19 November 2020

PERMASALAHAN KAWASAN TEPIAN AIR DARI SISI SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN

Setelah sebelumnya kita membahas mengenai permasalahan kawasan tepian air DAS Bengawan Solo dari sisi lingkungan atau ekologi, maka pada tulisan kali ini kita akan membahas dari sisi sosial ekonomi dan kelembagaan.

Permasalahan Sosial Ekonomi  

1.     Pengelolaan kawasan tepian sungai oleh masyarakat sebagai lahan budidaya 

   Faktor kondisi sosial ekonomi masyarakat yaitu kependudukan, kepemilikan lahan dan mata pencaharian. Wilayah Perkotaan Wonogiri masih didominasi lahan pertanian yang berada di sekitar DAS Bengawan Solo. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi ekologi kawasan sempadan sungai, mengakibatkan area terlarang bantaran sungai dimanfaatkan sebagai lahan pasang surut untuk bertanam padi dan palawija. Hal ini merupakan masalah tersendiri, akibat tuntutan kebutuhan ekonomi sehingga memanfaatkan lahan yang ada untuk mendapatkan penghasilan. Sehingga perlu adanya sosialisasi/pemahaman masyarakat tentang sungai dan bahayanya aktivitas ilegal yang dilakukan. Pengelolaan DAS yang terpadu sesungguhnya melibatkan semua stakeholders termasuk masyarakat sebagai pelaku. Sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat untuk melakukan tindakan konservasi tanah diperlukan agar pengelolaan DAS berkelanjutan dapat terlaksana.

Menurut Fahmudin Agus dan Widianto (2004) konservasi tanah harus disesuaikan dengan keadaan sosial ekonomi setempat (misalnya status kepemilikan tanah, tenaga kerja, penghasilan rumah tangga). Tindakan konservasi tanah mudah diterima petani adalah tindakan yang memberi keuntungan jangka pendek dalam bentuk peningkatan hasil panen dan peningkatan pendapatan, terutama untuk petani yang penguasahaan lahannya tidak tetap. Kegiatan konservasi yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani dengan fasilitasi penyuluhan. Petani paling berhak mengambil keputusan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada lahan mereka. 

Daerah hulu merupakan faktor produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemukiman dan lain-lain. Kemampuan pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada daerah hilir. Konservasi daerah hulu perlu mencakup seluruh aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Kepentingan masyarakat juga harus dimasukkan sebagai faktor kunci dalam kebijakan pengelolaan lahan hulu.

2.      Pengelolaan kawasan tepian sungai oleh masyarakat sebagai lahan budidaya

Eksisting kawasan tepian air di Wonogiri bukan semuanya didominasi oleh sempadan sungai dan waduk yang tidak terbangun. Terdapat sisi yang potensial digunakan sebagi ruang terbuka publik perkotaan, seperti kawasan monumen “Bedhol Desa” yang belum dilengkapi sarana prasarana yang memadahi.  

Dari hasil observasi di kawasan tepian air Wonogiri, ditemukan fenomena meningkatnya minat masyarakat ke kawasan tepi air Waduk Gajah Mungkur berada di Pokoh Kidul, biasa disebut plaza oleh masyarakat Wonogiri. Di tempat ini terdapat monumen sejarah “Bedhol Desa” sebagai lambang keharusan penduduk Wonogiri bertransmigrasi ke Sumatra demi terlaksanya pembangunan Waduk Gajah Mungkur. Meskipun belum ada sarana prasarana yang memadahi sebagai tempat wisata, namun tempat ini menarik minat banyak masyarakat untuk sekedar menikmati pemandangan waduk, memancing, berjalan-jalan atau relaksasi. 

Menurut Maryono (2005) pariwisata sungai sangat bertolak belakang dengan aktivitas pembuatan talud. Pariwisata sungai menuntut kondisi sungai yang bersih dengan ekosistem sungai yang sehat, vegetasi hijau pinggir sungai, kelak kelok sungai yang menggambarkan kondisi natural sungai yang segar. Pentaludan akan mengakibatkan vegetasi bantaran hancur, debit banjir meningkat pada musim hujan dan musim kemarau menurun drastis, sungai menjadi panas dan gersang. 

Proyek normalisasi sungai dengan pentaludan yang sering dilakukan di Indonesia, padahal di negara maju mulai ditinggalkan. Proyek berdana besar untuk membuat sungai yang telah diluruskan menjadi sungai yang berkelok-kelok lagi, sebagai contoh renaturalisasi sungai Enz di Jerman pada tahun 1990-1995  (LFU, 1996). Sedangkan pada tahun yang sama , sungai Bengawan Solo diadakan pelurusan dan sudetan dari Sukoharjo hingga Karanganyar sepanjang 20 km. Dari pernyataan tersebut, ditarik kesimpulan bahwa pariwisata sungai tidak identik dengan pembangunan fisik, namun dapat dengan pembangunan lingkungan, mengedepankan karakteristik setempat dan kelestarian sungai serta tema yang ditawarkan. 

 

Permasalahan Kelembagaan

Berdasarkan Kepres No. 12 Tahun 2012 Tentang Penetapan Wilayah Sungai oleh Direktur Bina Penatagunaan Sumber Daya Air (PSDA), pengelolaan SDA yang terletak pada WS Lintas Negara, Lintas Provinsi dan Strategis Nasional merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Sedangkan WS Lintas Kabupaten/Kota merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan WS Dalam Kabupaten/Kota merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota.

Dari hasil penelitian LIPI (2011) permasalahan DAS Bengawan Solo hulu antara lain belum maksimalnya koordinasi lembaga pengelola DAS Bengawan Solo hulu,  kemiskinan di daerah hulu, peningkatan intensitas dan luas banjir, penurunan kualitas air permukaan, masalah perencanaan DAS.

Proses degradasi yang terjadi pada DAS berdasarkan dari banyak penelitian yang dilakukan sebenarnya sudah mendapatkan perhatian dari pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Terbukti dengan banyaknya peraturan yang dikeluarkan untuk mencoba menangani masalah. Namun karena belum adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan, degradasi terus berlanjut. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi. Keterlibatan secara aktif para pihak (stakeholders) akan membangun rasa memiliki, memanfaatkan secara arif, dan memelihara sumberdaya secara bersama-sama.


Daftar Pustaka

Maryono, Agus. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers, 2005

PENGEMBALIAN FUNGSI TROTOAR SEBAGAI JALUR KHUSUS PEJALAN KAKI

Gambar oleh SnapwireSnaps dari Pixabay A. PENDAHULUAN          Trotoar adalah bagian dari ruang terbuka publik yang berfungsi sebagai  jalu...