Selasa, 17 November 2020

PERMASALAHAN KAWASAN TEPIAN AIR SUNGAI (DAS)

            Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas mengenai latar belakang permasalahan kawasan tepian air sungai (DAS).

Kondisi banjir akibat sedimentasi di DAS bengawan Solo 
di bawah jembatan pokoh, Wonogiri 


            Pada dasarnya semua kota yang bagian tepinya berbatasan langsung dengan perairan seperti; sungai, danau dan laut memiliki potensi menjadi waterfront city (Hardiman, 2008). Sebuah konsep kota yang mengedepankan wilayah perairan sebagai latar depan wilayahnya. Sungai, waduk, danau, pantai sebagai potensi dalam pengembangan dan penataan kota. Namun kenyataan di Indonesia, banyak kota-kota yang tidak memaksimalkan potensi tersebut. Penataan kota cenderung ke arah luar, berorientasi pada jalan dan membelakangi sungai, menganggap sungai sebagai halaman belakang. Kondisi tersebut mengakibatkan sungai menjadi terabaikan, kumuh, dan tidak memiliki nilai ekonomis.

Kawasan Tepian Air merupakan isu krusial dalam penataan lingkungan tepian sungai di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Berbagai masalah lingkungan muncul di kawasan tersebut bersumber dari masalah kecil yang terabaikan dan akhirnya menumpuk menjadi penyakit kronis yang tak kunjung terobati. Di wilayah hulu, pegunungan, berbagai masalah pun muncul akibat tata kelola yang salah sehingga berdampak luas hingga ke bagian hilir. Pengelolaan DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS.

Bagian sungai yang berperan penting menjaga sungai dari degradasi adalah area sabuk hijau (greenbelt) yang berada di tepian sungai/sempadan sungai. Dalam Permen No. 15 Tahun 2009, wilayah yang mempunyai fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup termasuk dalam kawasan lindung. Dalam hal ini, kawasan tepi air seperti sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk termasuk dalam kawasan perlindungan setempat dan bagian dari kawasan lindung. Sempadan sungai atau kawasan tepian sungai mempunyai peranan sebagai penyangga sungai. Karakteristik dari sempadan sungai adalah vegetasi tutupan lahan berupa tanaman keras sebagai penyangga sungai. Secara ekologis (Maryono, 2005) sempadan sungai merupakan 'habitat dimana komponen ekosistem sungai berkembang'.Komponen vegetasi sungai secara alami akan mendapatkan hara dari sedimentasi periodis dari hulu dan tebing, selanjutnya komponen vegetasi ini akan berfungsi sebagai pemasok nutrisi untuk komponen fauna sungai dan sebaliknya. Proses ini merupakan pendukung keberlangsungan ekosistem sungai yang memiliki sifat terbuka hulu - hilir. Memelihara ekosistem sempadan sungai yang baik sudah dapat dipastikan, sistem konservasi air dan tanah di sepanjang sungai dapat terjaga.

Menurut Penjelasan atas Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, kecenderungan lahan di sekitar sungai yang dimanfaatkan untuk kegiatan manusia, telah mengakibatkan penurunan fungsi, yang ditandai dengan adanya penyempitan, pendangkalan, dan pencemaran sungai. Untuk kepentingan masa depan kecenderungan tersebut perlu dikendalikan agar dapat dicapai keadaan yang harmonis dan berkelanjutan antara fungsi sungai dan kehidupan manusia. Pengembangan kawasan tepian air dilakukan dengan tidak merusak ekosistem, mempertimbangkan karakteristik sungai, kelestarian keanekaragaman hayati, serta kekhasan dan aspirasi daerah/masyarakat setempat untuk terciptanya keberlanjutan lingkungan tepi air dari segi ekologi, sosial dan ekonomi agar menjadi lebih baik di masa yang akan datang.


Daftar Pustaka.

Hardiman, Gagoek. 2008. Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan dalam Mewujudkan Kota Tropis, Gedung Prof Soedarto, SH Kampus UNDIP Tembalang Semarang.

Maryono, Agus. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar